Ada kalanya kita harus rela meringkas ingatan dan meringkusnya dalam lupa. Tapi perkara ini pelik sebab melupakan pekerjaan hati bukan kepala. Kali ini aku menolak terlalu sentimentil, karenanya mungkin jauh lebih baik jika kita bercerita soal kardus saja. Kamu tahu tempat bernama Musée du Carton et de l'Imprimerie? Itu nama sebuah museum yang berisi segala sesuatu tentang kardus, iya museum kardus! Benda yang sering kita anggap sepele ini rupanya pernah menjadi primadona sejarah. Ia perlu rumah bernama museum agar orang-orang di masa depan bisa mengunjungi kisahnya.
Konon, ide tentang kardus ini lahir di abad ke-19. Ia tercipta dari tangan Ferdinand Revoul yang pada mulanya membuat kardus atas permintaan Aguste Meynard, seorang petani ulat sutera yang tersohor di masa itu. Kardus yang dibuat Ferdinad Revoul ini kemudian menjadi wadah untuk konservasi benih ulat. Di tahun-tahun berikutnya, kardus “naik tahta”. Ia menjadi kemasan segala rupa: permen, wewangian, obat-obatan, barang pecah-belah, sepatu, gadget, cokelat, hingga kenangan.
Karena aku terlanjur menyebut kenangan, kamu harus maklum kalau aku tiba-tiba sentimentil.
Bagi orang seperti aku, kardus sudah lama menjadi museum. Ia tempat menyimpan segala kenangan yang terkurung dalam wujud benda. Dan sama seperti museum lainnya, aku juga kadang-kadang mengunjungi kisah di balik semua benda yang ada di kardus itu. Seperti hari ini.
Kamu melihat buku, beruang mini berwarna merah muda, tempat kacamata, gaun dengan bordir hijau dan juga rubik. Iya kan?
Barang-barang ini seperti sulur rindu yang selalu pintar mengembalikan semua kisah pada tempatnya: kepalaku! Kita sama-sama “budak” Ayu Utami. Kamu menghadiahi aku banyak buku perempuan dengan tubuh liat itu. Bagimu, ini hadiah. Bagiku, ini seperti tugas. Sebab setelah membaca bukunya, kamu tak lagi segan mengajakku berdebat hal-hal pelik yang Ayu kurung dalam buku. Berdebat itu perbuatan tolol yang selalu kita lakukan. Tentang buku bajak laut itu, aku sampai sekarang bingung, mungkin kamu pikir menengok sejarah ada baiknya. Apapun itu, aku menyukainya.
Soal boneka beruang, aku pikir mungkin kamu ingin seperti kekasih lainnya. Menghadiahi pacar dengan boneka selalu bisa menyelamatkan lakilaki dari tuduhan kurang romantis bukan? Kalau tempat kacamata itu hadiah insidentil. Sedangkan si rubik semacam ritual “buang sampah”. Kamu tahu, susah sekali memutar kotak rubik ini. Ia terbuat dari plastik kaku. Kalau kutebak mungkin harganya tak lebih dari Rp. 20.000 bukan? Atau Rp. 10.000 saja? Kamu melimpahkannya (kalau boleh disebut membuangnya) padaku. Mungkin supaya aku lebih sabar menunggumu datang berkunjung. Kamu manusia karet.
Akhirnya kita tiba pada gaun putih dengan bordir hijau. Kisahnya sungguh melodramatis. Seperti film Korea, mungkin juga India. Kamu menghadiahkannya di hari ulang tahun dan meminta aku memakainya di sebuah acara yang kita datangi tanpa harus saling menjemput. Dan, saat aku tiba di tempat itu, kamu menyambut dengan suka cita. Wajahmu sumringah, aku terperangah. Kamu memakai kemeja putih dengan bordir hijau. Kita mirip anak TK yang bangga dengan baju seragamnya. Tapi hal itu manis, selalu manis saat diingat.
Sayangnya, kisah kita telah selesai. Dan ini hanyalah jagat seluas kardus. Penghuninya ingatan tentangmu. Ingatan ini, selalu tentang apa-apa yang telah lalu. Sesekali dikenang, tidak untuk diulang.
0 Shout:
Posting Komentar
Saya cinta mereka yang diam...tapi kalaupun ingin komentar mohon yang sopan :)