― Kakuzō Okakura, The Book of Tea
Jika teh memang agama, pun dogma, maka kita adalah dua ayat yang tersesat sebagai misteri. Kemudian dalam serangkaian kebosanan, kita kembali dipertemukan dalam satu kisah. Membacamu seperti membaca diriku sendiri. Tapi anehnya, setiap menemukan detil yang sama, aku selalu gagal mengingatkan diri agar tak bersorak.
Kita pemuja teh. Mungkin kau tak tahu, karena memang aku tak pernah bercerita perihal ini. Aku menyukai teh jauh hari sebelum bertemu denganmu. Suka yang terlalu ini membuat aku tak pernah menyebutnya dengan bangga. Tapi mereka yang dekat pasti tahu. Aku memilih teh bukan tanpa alasan. Menghindari kafein? Salah besar, sebab teh dan kopi sama-sama mengandung kafein. Tak suka rasa pahit kopi? Tidak juga. Pada dasarnya teh juga menyimpan sisi pahit.
Mereka yang mencintai teh boleh jadi karena terjebak di antara didikan selera orang tua atau juga karena gagal akur dengan ketergesa-gesaan. Teh memang menghadiahi seseorang kedalaman rasa. Sementara kopi sebaliknya, ia meletupkan semua yang kita miliki. Memacu degup jantung sembari memaksa mata terus terjaga. Teh, dengan caranya yang berbeda, justru akan menenggelamkan pikiranmu. Tak jarang pula ia akan mengajakmu tidur. Selain daripada itu semua, persoalan selera juga tak bisa disampingkan. Aku suka rasa teh yang jauh lebih ramah ketimbang kopi.
Bagaimana dengan kamu? Kegemaran meneguk teh diwariskan ibumu? Atau kau sekedar suka rasanya? Apapun itu, menyaksikanmu menghabisi gelas demi gelas teh adalah cara paling sederhana merayakan cinta. Mendengarkanmu mengeluh soal gigi yang menguning adalah bagian lain yang tak boleh diabaikan. Teh mencintaimu dengan cara memeluk satu per satu geligimu sayang. Meninggalkan jejak di situ boleh jadi gagasan paling cerkas.
Karena aku juga suka teh, saat kau dijebak rindu, cobalah bercermin. Seret bibirmu ke arah luar. Perhatikan lekat-lekat tanin teh yang menempel di gigi bawahmu. Itu aku. Masih rindu?
"Teh dan nasehat itu sama pentingnya", kata Paman Iroh kepada Aang. Minum teh, juga warisan dari nenekku ci... ehehehe
BalasHapusLaki-laki jarang rindu kurasa, kalaupun iya, dia cepat mengabaikannya.
kasihan ya kamu, yang dilihat yang disekitarnya saja, atau hidup mu memang cuma berkisar radius 1Km?
BalasHapus