☎ Telepon

Kabarnya, pria kurang suka berbicara di telepon (kecuali kalau mereka punya maksud terselubung). Sementara wanita, mereka bahkan bisa menginap di telepon sampai berjam-jam lamanya! Kalau begitu, anggap saja saya pria. Saya tak suka berbicara banyak di telepon (kecuali jika ada maunya, dan biasanya perihal hati). Saya lebih nyaman jika ponsel genggam saya diam seharian. Meski demikian, saya riuh di ruang chat. Suka membicarakan banyak topik remeh hingga jam menelan hitungan 24. Tapi di telepon, saya tak betah (kecuali, sekali lagi, saya sedang membicarakan soal hati). Mungkin orang-orang yang dekat dengan saya paham. Saya tak pernah mau (kalau bisa disebut tak sudi) mengangkat panggilan dari nomor yang tak dikenal. Saya rasa SMS jauh lebih menyenangkan, dan jujur. Entah..

Meski menyebalkan soal telepon, tapi saya juga di waktu-waktu tertentu bisa terlibat percakapan bersama orang-orang dekat di telepon. Tak pernah ada topik khusus, biasanya spontanitas. Jadi durasinya selalu imut (maaf saya mengulanginya lagi, kecuali saya sedang berbicara dengan pacar saya).

Berikut orang-orang yang terkadang saya jatah kata-katanya dalam hitungan menit..

Ibu

Dahulu, berbicara dengan ibu di telepon terbilang sering. Setiap hari ia akan bertanya hal-hal remeh hingga berkali-kali. Saat saya merasa tiba waktunya untuk dewasa, saya meminta ibu menelpon hanya jika ada hal penting, dan kalau bisa hanya yang genting saja. Sejak saat itu, ibu juga seolah selalu terburu-buru saat menelpon.

Ibu    :  "Tadi sudah transfer bla bla bla, baik-baik ya nak."

Saya :  "Iya maaa..."

Ibu   :  "Wassalam.." 


..dan tak butuh beberapa menit, ponselku akan kedatangan tamu. Beberapa pesan pendek, dari ibu.

  Nenek

Nenek akan selalu memulai sebuah pesan pendek sebelum menelepon. Biasanya dia akan meminta ibu melakukannya. Setelah mendapat mandat di inbox, saya akan segera menelepon. Segera di sini bukan seketika. Saya harus pulang ke kamar (di manapun itu) sebelum menelepon. Berbicara dengan nenek harus dalam keadaan hening dan wajib tak ada orang. Karena saya selalu suka menumpahkan air di mata saat mendengar nenek di telepon. Bukan karena rindu yang keterlaluan. Bukan karena jarak yang dirutuk. Tapi, seputar tanya yang selalu ia sampaikan.

Nenek : "Bagaimana ini, nda apa-apa solat dijama' terus? Allah nda terima. Sudah lama sekali."

Saya   :  "Do'a nek.. habis solat do'a Ya Allah sempurnakan ibadahku."

Percakapan itu selalu begitu, kami biasanya terputus hanya karena pulsa yang habis. Selain alasan itu, saya tak akan tega memutus telepon nenek.  Saya selalu diliputi perasaan aneh. Mengingatkan nenek tentang solat seperti menghukum diri sendiri. Melihat nenek yang selalu cemas membuat saya serasa dicubit, tidak di lengan tapi di hati. Saya biasanya menangis.. telepon nenek seperti sedang berbicara dengan Tuhan. Saat ia bertanya "Bagaimana solatku?", rasanya seperti mendengar "Bagaimana solatmu?".

  Steffy Viranisa

Dari semua orang yang saya kenal, nona Supit ini yang paling jago soal nelpon. Kami sangat akrab. Sering tertawa sama-sama  dan tak jarang saling memusuhi untuk alasan sepele. Tapi setelahnya, kami akan diselamatkan makanan dan berdamai kembali. Dia suka berbicara. Saya belajar menjadi pendengar yang baik saat bertemu dia. Meskipun di telepon, saya susah betah. Tapi saya sadar, ada saat saya harus mengakali rasa bosan itu. Waktu ia patah hati, saya menyiapkan diri menjadi pendengar maha baik. Walaupun setiap hari yang ia biacarakan hal yang sama. Tapi saya tetap mendengarkan. Kami bisa sampai berjam-jam membicarakan orang yang membuat hati Steffy remuk. Interupsi hanya terjadi jika perut mulai bernyanyi riang. Dan biasanya kami kemudian janjian mencari tempat makan, tempat melanjutkan cerita yang terputus di telepon. Saya merindukan dia.. si Steffy :(

Dia sedang menjadi manusia angka sekarang... semoga Jakarta tidak merampok semua ketulusannya..

Syarkiyah Assiraj

Saya menamainya Keong. Dia seorang jaksa. Kami sama-sama kuliah di tempat yang sama. Hubungan saya dengan Keong cukup intim. Dia orang yang sangat perhatian. Kelakuannya juga bak malaikat. Sabarnya sama seperti paket gombal internet dari provider yang saya pakai, unlimited. Sejak kami dimakan jarak, Keong selalu meluangkan waktu menelepon saya. Tidak setiap minggu, kadang dua bulan sekali. Dia yang selalu memulai panggilan. Dan lucunya, pembicaraan kami selalu sama..

Keong :  "Apa kabarmu? Lama tidak dengar beritamu. Kau bikin apa?"

Pertanyaan Keong selalu saja begitu.

Saya :  "Keongggggg, baik-baik-baik"

Jawaban saya juga selalu begitu.. membosankan bukan? Tapi tunggu, setelah beberapa saat Keong akan melontarkan pertanyaan yang selalu berhasil membuat kami terjebak tawa yang panjang dan telepon yang tak lagi patuh pada menit. Pertanyaannya adalah "Apa kabar hatimu?".

Inayah Mangkulla

Apa yang harus saya ceritakan soal nayah? Kami sama-sama tak suka berbicara di telepon. Saya kadang memanggil di ponselnya, tapi hanya sekedar memastikan dia telah melakukan sesuatu dan lain-lain. Setelah mendapat kata "Iya", telepon akan mati dengan tertib. Selalu begitu. Tapi kami dekat, meski ponsel kami jarang bertegur sapa. Iya kan nayah?

Dia Yang Namanya Tak Perlu Kau Sebut Lagi

Dia rajin menelepon. Dia manusia jadwal. Seperti robot, ia akan bertamu di panggilan masuk pada waktu yang selalu sama. Sekitar pukul 6 pagi dan pukul 9 malam, setiap hari. Kecuali saat ia sedang tugas di luar kota dan harus tidur bersama beberapa orang dalam kamar hotel. Kami, ah sudahlah... bagian ini tak harus dipanjang-panjangkan. Yang pasti, dahulu cerita kami selalu panjang dan hanya sanggup dipotong batre yang kehabisan energi.

Rendra Zulmi Febryanto


Dia adik, kami diikat hukum genetis. Saya didaulat jadi anak pertama dan dia yang terakhir. Dia suka mengirim pesan pendek, tapi selalu dibumbui modus.

Pesan pendeknya selalu begini : "Kakak telpon sekarang, Penting!!!"

Dan saya biasanya akan langsung menelepon, bodohnya...

Saya : "Kenapa" Ada apa?"

Nto' : "Tolong belikan pulsa berapaaaaaaaaaa saja. Penting. Paket internet habis."

Saya : ​(҂ ̄﹏ ̄‎)

Dia Yang Namanya Kau Mulai Dari Huruf V

Dia malas menelepon, kecuali saat kami sedang berbagi amarah. Itu saja. Titik.


Jadi tulisan panjang ini sebenarnya hendak bercerita padamu tentang si V yang malas menelpon, sementara Si H (kalau kau tak tahu siapa, itu aku!), sedang merindukan suaranya! Itu saja, maaf jika terlalu panjang. Saya tersesat dalam remeh cerita yang mencoba untuk elegan menyatakan rindu, dan gagal..




0 Shout:

Posting Komentar

Saya cinta mereka yang diam...tapi kalaupun ingin komentar mohon yang sopan :)