فَإِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا
“Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan.” (QS. Alam Nasyroh: 5)
Kita akan selalu merasa besar, sampai pada waktunya Allah memperlihatkan apa yang disebut dengan Akbar. Kita kemudian merasa terlampau kecil lalu memilih bertempat tinggal di dalam doa-doa yang panjang di penghujung malang. Meringkus air mata di pipi. Tidur di sajadah yang terasa lebih hangat ketimbang kasur busa. Mata sembab hati lembab. Perkara dunia membuat hati sempit. Saya memilih tak lagi memiliki. Semua yang ada pada kita akan hilang. Kecuali doa-doa yang panjang.
Dahulu, dalam otak yang masih kanak-kanak. Saya percaya Allah adalah lelaki dewasa yang selalu punya permen di tangannya. Anak-anak memang selalu punya kepercayaannya masing-masing. Saya merasa selalu menjadi kesayangan. Sebab, setiap mempelajari hal baru, saya selalu diganjar hadiah. Saat beranjak dari Sekolah Dasar, ajaran tentang pentingnya menundukkan mata menjadi begitu penting bagi gadis yang hendak pindah ke Sekolah Menengah. Hanya saja, pikiran kanak-kanak saya gagal menemukan alasannya. Tapi saya lakukan. Mungkin Allah senang. Ia menghadiahi sejumlah uang yang saya temukan di jalan setapak menuju rumah. Masih dengan pikiran kanak-kanak, saya bersorak dan diam-diam meyakini menundukkan pandangan memang penting.
Beranjak remaja, saya semakin susah dapat hadiah dari Allah. Hadiah terakhir yang paling saya ingat adalah senyum hangat ibu sesaat setelah saya hampir membakar rumah. Ibu pernah marah luar biasa hanya karena persoalan cermin. Karena itu saya kalut luar biasa saat menyadari kesalahan besar yang saya perbuat. Saya pulang sambil merapal doa di mulut. Dan sesampainya di sana, Allah menghadiahi saya senyum di wajah ibu meski saya melihat beberapa bagian rumah yang terbakar. Saya memang hampir melenyapkan rumah, tapi ibu selalu menjadi tempat pulang paling nyaman. Saya percaya Allah melenyapkan api amarahnya.
Beranjak dewasa, bernapas di angka yang hampir menyentuh 30, saya tak pernah lagi berdoa atau tidur di sajadah. Tak pernah berpikir di mana Allah. Saya memang masih meminta, mungkin bergumam. Kepala saya disita dunia. Sampai akhirnya dunia berbelok arah dan memusuhi saya. Sampai akhirnya Allah membolak-balikan hati orang-orang di sekeliling saya. Sampai akhirnya saya menjadi tumbal kesalahan seseorang. Saya tak mencoba beriak atau berteriak. Saya diam. Memamah dalam benak saya sendiri. Menelan semua pahit sambil menerka itu racun atau bukan. Saya diam. Saya diam. Saya diam. Saya diam. Saya diam. Saya mencoba diam!
Tapi kepala ini ribut betul. Saya menyogok hati yang lara dengan doa-doa kecil. Tapi kepala ini masih bising. Tuhan, kalau Kau masih ada di sana... dekati aku. Aku kehabisan cara menemukanMu. Berikan aku, sekali lagi, dua kemudahan di antara sebuah kesulitan.
0 Shout:
Posting Komentar
Saya cinta mereka yang diam...tapi kalaupun ingin komentar mohon yang sopan :)