Kau benar, mungkin aku tak akan pernah jadi seorang penulis...
Kepalaku
tidak dihuni ide dan nyali. Aku (mungkin) hanya seseorang yang sanggup
mengawinkan kata dengan tata bahasa rapi, tapi tak menginspirasi.
Seseorang yang mampu memengaruhi pembacanya selalu layak disebut
penulis. Sayangnya, aku tidak. Aku hanya ingin menulis untuk diriku
sendiri... dan saat ini, untukmu! Aku memang bukan penulis. Tapi tak
mengapa.
Kau
laki-laki yang suka menggiring ketimbang seiring. Kemarin, saat kita
(lagi-lagi) berjalan di sepanjang koridor Malioboro, aku diam-diam
melihat bagaimana engkau mengisyaratkan agar aku memegang tanganmu,
segera. Kadang tidak kulakukan. Malioboro itu ramai sayang, manusia di
sana tidak membiarkan kita berjalan berdampingan. Jadi, tak mengapa jika
kau menggiringku. Memegang jari dan menariknya sambil berjalan. Aku
menyukai punggungmu. Jadi berjalan di belakangmu tentu menyenangkan.
Aku
tahu, kau kikir berbagi kabar. Sekali lagi, aku maklum. Bukan perkara
besar (lagi) bagiku. Aku suka hidup di dalam pesan terkirim HP-mu.
Sungguh, tak mengapa. Kemarin saat pesan pendekmu bertamu di HP
mungilku, aku menggigil. Kau sakit dan aku terhimpit. Tak bisa
kemana-mana. Hanya bisa menunggui HP sambil berdoa kau mengabarkan
perkembanganmu.
Apa
yang kau lakukan sekarang? Aku bukan penebak ulung, sayang. Kepalaku
dipenuhi prasangka. Aku gagal membayangkanmu tertidur lelap karena obat.
Aku gagal membayangkan engkau bercanda dengan Abah dan juga Si neng
yang menungguimu di Rumah Sakit. Aku gagal membayangkan tatapan galak-mu
ke arah TV. Aku gagal membayangkan engkau baik-baik saja! Kepalaku
dipenuhi wajah pucatmu. Kepalaku dipenuhi darah. Mataku sedang ramai.
Hujan tak berhenti. Rasanya asin. Kau bilang dadamu sakit, matamu perih.
Sayang, entah mengapa aku pun demikian.

Aku
tak berani memulai SMS. Jariku gagal bertanya banyak. Kau mungkin
sedang mencoba lelap. Kau mungkin sedang menahan rasa tak nyaman. SMS-ku
pasti akan sangat mengganggu usahamu. Apa warna Rumah Sakit membuatmu
"sakit"?
Tulisan ini untukmu. Aku tahu, kau sering berkunjung di blog ini...
Apa
aku mudah dibaca lewat aksara ketimbang suara? Baiklah, aku ingin
membuat sebuah pengakuan. Aku "menangis" saat melihatmu menangis, di
bioskop. Kau ternyata tidak setangguh yang aku perkirakan. Kau mudah
terenyuh. Dan entah bagaimana, sangat menyenangkan mendapatimu begitu.
Aku mencintaimu Valeri Ardian. Mungkin ini salah, tapi aku tak sanggup
berbelok arah. Lekas sembuh... Aku menunggumu. Kita masih memiliki
banyak pekerjaan rumah mencipta kenangan. Memperbaharui apa yang pantas
diingat.
Lekas sembuh... dut! Kau hutang buku dongeng!
Tulisan yg paling sedih di blog ini. Kalau ndak salah beliau ini pernah ada di salah 1 program tv ya mbak? Apa betul?
BalasHapusmbak/mas anonimus salah orang mungkin :D
BalasHapusAh ga salah,itu si Ale!!! Dulu pernah nonton shootingnya kok dihutan gunung gede..tp dulu kynya badannya lebih besar. Apa iya saya salah orang ya? Maklum ga tanya namanya,saya taunya ya Ale aja
BalasHapusale? wah sy gak ngerti lagi deh..dia g pake nama itu soalnya :)
BalasHapusHa3 sy jd rutin kunjung ke blog ini,sy suka tulisan2 karya mba :)
BalasHapusBtw,itu emang Ale,sudah lama ga lihat. Dulu presenter di slh 1 acara tv tentang alam,saya tau krn pernah ngefans :p
Semoga berjodoh ya mba
Tapi masih heran ko sekarang kurus sekali ya?
BalasHapusNgerokoknya parah dia..makanya gt. Tp aku ketemu emang udah gt. Trimakash kunjungannya mas/mbak :)
BalasHapus