Ini hampir 2 bulan sudah, saatnya berbenah...
Dan sebelum benar-benar lupa, aku ingin sekali lagi mengenang pembicaraan kita seputar perpustakaan. Kau masih ingat? Tentu tidak... tapi tak mengapa. Rasanya percuma juga membebanimu dengan cerita kecil, sementara kau melulu alpa mengingat hal besar. Cerita yang mampu diingat tanpa harus berusaha.
Baiklah, akan kuingatkan. Kau takut dengan cerita semua orang tentang perempuan Bugis yang menyulitkan. Mereka, katamu, dimakan gengsi yang terlalu berlebihan sehingga melupakan esensi dari pernikahan. Kataku, aku bukan perempuan Bugis! Kau tak perlu menyiapkan uang ratusan juta hanya untuk membeli kata "Aku bersedia"-ku. Aku perempuan Duri. Saat kau datang ke rumah, mungkin nenek hanya akan memeriksa bacaan solatmu. Main tebak-tebakan seputar Nabi Muhammad. Atau, mungkin ia akan memintamu menjadi imam-nya dalam sebuah jamaah. Bagi kami, laki-laki seperti itu selalu layak.
Dahulu, kita membicarakan banyak hal soal pernikahan. Tapi rupanya kau tak hanya membicarakannya denganku. Baiklah, tak ada yang salah. Semua orang berhak mendapatkan yang terbaik. Aku hanya tak suka, sebab kau memasukkan aku dalam list "A B C D"-mu, sementara bagiku kau A, tak ada abjad lain di belakangmu.
Aku tak berniat mengungkit. Aku hanya jatuh cinta pada kenangan saat kita mulai bercerita soal bagaimana rumah kita kelak. Kita sepakat memiliki sebuah ruangan berisi buku, milikmu dan milikku. Mungkin, rak bukumu akan dipenuhi biografi orang-orang sukses. Mereka yang kau anggap pembangkit semangatmu. Sementara aku, kupastikan rak bukuku dihuni fiksi picisan. Sebagian lagi mungkin buku psikologi. Kata Hemingway, cara terbaik menyeret seseorang dalam cerita adalah dengan memahami kondisi psikologis mereka. Iya, aku rasa aku butuh buku psikologi.
Kataku dulu, jangan pernah berani menyentuh bukuku. Tapi saat mengatakan itu, sejujurnya aku berniat berjingkat kecil menuju rakmu. Cara terbaik memahami kepalamu yang seluas jagad raya itu mungkin dengan membaca buku milikmu. Apa kau juga akan bertamu di rak bukuku? Percayalah, yang akan kau temukan hanyalah buku-buku tentang ketulusan. Aku memang dangkal, tapi segala sesuatu yang dangkal selalu berhasil membuat kita merasa aman bukan?
Aku meminta sebuah perpustakaan sebagai mahar. Kau masih ingat? Seingatku, kau tak berkata tidak tapi juga tak berkata iya. Mungkin kau bimbang. Bukan soal buku. Tapi perihal lain yang gagal aku endus. Setelah kau menghilang, aku yakin meminta perpustakaan bukan ide yang menarik bagi pria. Tapi sungguh aku ingin memiliki sebuah ruangan berisi buku, dan melihatmu di salah satu sudut sedang membaca dengan mata yang memicing. "Uh, kau lupa pakai kacamata lagi sayang", aku pasti akan berkata begitu. Sementara kau, tanpa menoleh sekalipun, kau terus melahap abjad. Tak mengapa, buku memang selalu mampu mencuri kau dari aku. Tapi aku rela. Aku dengan pelan-pelan akan mengambil sebuah buku tentang cinta dan diam-diam mendekatimu. Kemudian aku akan berpikir bagaimana caranya menjadikan kedua kakimu sebagai bantal tanpa harus menginterupsi kencan butamu dengan buku tebal itu. Sayang, aku ingin menemanimu tersesat dalam belantara kata.
Baiklah, selamat bermimpi...
0 Shout:
Posting Komentar
Saya cinta mereka yang diam...tapi kalaupun ingin komentar mohon yang sopan :)