☎♡ Cinta Seluler




Aku sudah patah hati hampir setahun. Tak percaya lagi pada nasehat semua teman : waktu adalah penyembuh. Sudah nyaris 360 hari aku menenteng tulisan di jidat, Statusku Single tapi hatiku sudah menikah. Lajang tapi hatiku tak lagi lajang. Tuhan, aku yakin ini penyakit hanya saja para dokter belum berani menamainya. Mungkin karena efeknya tak mematikan. Hanya menjajah apa yang disebut mood. Aku nyaris tak punya mood. Aku patah hati dalam jangka waktu yang tak bisa diprediksikan. Tak berselera memperdebatkan siapa yang paling tampan di fakultas. Tak ramah di jejaring sosial manapun. Aku sok garang, bukan jual mahal. Memang aku sedang tidak ingin “berpura-pura”. Berpura-pura menyukai seseorang untuk melupakan seseorang lain. Bodoh.

Kurasa aku tak terselamatkan dari rasa ini. Terus-terusan meratap membuatmu bertemu titik nyaman. Aku masih mencintai cinta yang sudah pergi itu. Meski dia sedang sibuk membahagiakan orang lain sekarang. Kadang memikirkannya seperti membuang cairan berliter-liter dari tubuhmu melalui tudung mata. Sedih. Tapi aku tak berniat pura-pura lupa. Semua kulalui. Hampir setahun. Dan semuanya masih terasa sama. Aku masih mencintainya.

Mungkin akan lebih baik jika Tuhan menciptakan cinta seperti bedak. Kau dengan gampang bisa menggantinya jika kau merasa bedak itu membuatmu buruk rupa, atau membuatmu seperti perempuan hampa di sinetron dengan kulit putih nyaris mayat. Kau bisa menggantinya, cari merek lain. Lupakan merek lama yang membuatmu seperti manekin buta ekspresi. Tapi cinta tak sesederhana itu. Cinta tak akan kemana-mana meski orang yang menawarkan cinta tersebut telah pergi. Meski kau membuangnya, letaknya tetap di hati. Memburumu. Menjajahmu. Sampai kau menyerah dan berpikir berdamai saja. Aku begitu.

Aku tak ingin membuangnya. Namaku Dayu. Namanya Yuda. Kami pernah merasa ‘satu’. Dan mungkin Tuhan iri melihat kami satu (bukankah hanya Tuhan yang satu?), lantas menjadikan kami dua orang dengan arah hidup berbeda. Dengan cita-cita yang tiba-tiba berbeda. Kami berpisah. Setelah 6 tahun merasa ‘satu’. Kami sesungguhnya hebat, dia di Mataram dan aku di Makassar. Jarak tak menghabisi kami dalam rentang setahun. Ia menggerogoti kesabaran kami selama 6 tahun. Memakannya sedikit demi sedikit. Sampai suatu hari, dia menelpon.

Aku mendengarkan suaranya. Dia berpikir telah jatuh cinta dengan seseorang. Seseorang lain. Aku masih mendengarkan. Tak ingin membantah. Apalagi menangis meraung-raung seperti perempuan yang ditinggal selingkuh pasangannya. Di sinetron kau boleh melihat perempuan dengan nasib sial itu menangis. Memaki. Tapi pada kenyataannya aku tak bisa. Yang kulakukan hanya memberi selamat. Dan BUMMM!!! Seperti properti sulap yang raib seketika, apa yang 6 tahun kami lalui juga tiba-tiba lenyap. Semuanya berakhir hanya dalam satu kali telpon.

Telpon. Telpon. Telpon. Telpon. Aku diam-diam berharap Alexander Graham Bell tak pernah meciptakan benda itu! Dan dalam diam pun aku pernah menggapnya dewa, karena menciptakan benda itu. Lucu! Hati itu musim, sayang! Dan musim tak lagi bisa kau tebak.

Kau tahu, cinta dengan jarak jutaan meter kubik air laut memang sulit. Satu-satunya penghubungmu hanya kejaiban dunia bernama telpon. Tepatnya sesuler! Aku dan dia pernah menyebut kami cinta seluler. Dan kadang sok matematis dengan menghitung berapa kira-kira keuntungan provider seluler kami. Pasti banyak. Aku dan dia tak pernah melewatkan satu hari tanpa cerita, lewat selular tentu! Bayangkan jika ada banyak pasangan yang terjebak jarak macam kami. Betapa bahagia hidup para provider tersebut. Sebahagia kami yang bisa mengakali jarak.

Tapi…sampai kapan bisa mengakali jarak? Mengibulinya selamanya? Mungkinkah….

Kita seharusnya bahagia diciptakan Tuhan dengan komposisi air mata yang berlebih. Kadang-kadang menangis membuat lega. Menangis menyisakan ruang untuk mengenal diri kita sendiri, lantas setelah air mata kering, kita mulai bertanya apa gunanya menangis? Tak ada selain mebuatmu lega. Karena lega tak terlihat, kadang kita dengan tololnya masih bertanya : APA GUNANYA MENANGIS? Aku masih sering menangis… sambil mengais-ngais kenangan serupa mahluk bandel yang susah diusir. Kenangan kami.

Sejujurnya, dalam masa patah hati ini, aku masih sering berpikir. Mungkin dia yang telah pergi itu pasangan jiwaku. Mungkin aku sebagian tulang rusuknya. Dia true match-ku. Kami semacam palindrome, yang dari belakang ataupun depan tetap serupa meski berbeda. Atau kami sebenarnya Rectoverso. Kami utuh saat bersama. Dan saat ia bertemu belahan jiwa lain, aku tiba-tiba merasa tak utuh. Kosong. Hampa. Tolol. Bodoh. Idiot. Apapun itu namanya, aku merasa tak lengkap. Dan saat merasa tak lengkap, hanya satu doa yang selalu kulafalkan. Tak ada lagi doa makan, doa sebelum tidur, doa untuk mama-papa, doa supaya kaya, pun doa agar dapat jodoh!! Hanya satu doa : Semoga cepat lupa. Doa yang meurutku sederhana, tapi Tuhan tak kunjung mengabulkannya.

3 Shout:

  1. jujur, aku suka gaya tulisan kamu. tulisannya khas, dan menurut aku gak semua orang bisa mengekspresiakn suatu 'rasa' seperti tulisan yang kamu buat. bukan niat untuk gombal lho...hehe..
    salam kenal.. mbak. :)

    BalasHapus
  2. Jangan kuatir mas...di sini Gombal tidak dilarang, malah dianjurkan...:P

    BalasHapus
  3. Ijin share ya, mbak. salam :-)

    BalasHapus

Saya cinta mereka yang diam...tapi kalaupun ingin komentar mohon yang sopan :)