Semacam Surat Kaleng

Kepada dia yang tak ingin membaca surat, pun hati.

Percayakah engkau bahwa aku semakin kehilangan kemampuan untuk percaya pada apapun…

Ini sungguh menggelikan, membaca peta hatiku dan hatimu membuat pipiku terus bersemu. Jatuh cinta membuat kita asing. Entah kenapa cinta ini melumat segenap kepercayaanku… Aku manusia matematis. Butuh logika sekaligus rasa. Tapi entah kenapa dalam percabangan gelisah saat menunggumu, aku merasa dunia berubah ritme. Aku menuduh jam berkonspirasi memperlambat waktu. Dugaanku mereka tidak senang melihat kita. Bukankah saat kita bersama, jam tak lagi ampuh untuk menakutimu hingga harus terbirit-birit? Aku menikmati momen itu…

Aku mencintaimu. Sebuah kalimat naïf. Oh iya ajarkan aku senaif dirimu yang dengan mudah mengucapkan kalimat itu saat kita bertemu. Tolong ajarkan…karena lidahku bandel. Saat bertemu denganmu, ia mogok untuk melafalkan 2 kata itu. Bukan karena tak cinta. Tapi entah kenapa di hadapanmu semuanya nihil terucap. Mendadak aku tak percaya pada lidahku sendiri.

Percayakah engkau, betapa cinta ini merubah strategi terbesar hidupku…

Rencana terbesar hidupku bukan lagi sebuah masterpiece yang kuharap berujung pada nobel. Iya, bagiku (dan bagi penulis manapun) nobel sastra adalah pencapaian maha besar. Tapi meringkuk bersamamu membuat aku berubah haluan. Tujuan hidupku bukan hal remeh itu lagi. Yang paling kuinginkan saat ini hanya legalitas agar aku bisa terbangun di tiap pagi dan menjumpaimu masih terlelap. Sensasi itu tak terbayarkan dengan nobel sekalipun. Tidak cukup sederhanakah ini untuk kau mengerti? Tentang Legalitas itu. Mungkin kau menyebutnya komitmen. Atau mau yang lebih rumit lagi? Kau bisa menyebutnya ijab-qabul.

Percayakah engkau, aku yang 21 ini sudah berpikir untuk menjadi istrimu….

Menurutmu apa terlalu aneh memikirkan pernikahan di usia kita? Atau tepatnya menakutkan? Aku tahu konsep itu pasti menakutkan. Terlebih berkat selebriti kita yang baik hati, perceraian semakin popular. Oh…jangan ingatkan aku pada kata itu. Memikirkan pernikahan saja nyaris menyita semua kaloriku menjadi energi tak berguna. Tak terbayang rasanya harus memikirkan “cerai” sekaligus!!!

Percayakah engkau, betapa rumit kesederhanaan yang aku bangun…


Aku mencintaimu. Kalimat agung itu sudah terlalu sering digemakan ke semesta. Ia bahkan masuk kelas kata klise. Aku malas menyebutnya. Tapi harus bagaimana lagi, hanya kalimat itu yang paling jujur bagiku saat ini…. Ia memang kata, tapi memaknainya sangat rumit. Sederhana ternyata relatif.
Apa aku ngelantur? Bicara seenaknya? Mungkin saat membaca surat ini dahimu bekerut bingung… Tapi percayalah…, seperti aku selalu belajar untuk percaya bahwa dalam bahasa cinta yang rumit, Ia sebenarnya sangat sederhana.. tak lebih dari sebuah kepercayaan…

Percayakah engkau dengan semua apa yang aku tulis di surat ini yang tak bertanggal ini….


Iya, percayalah…karena apa yang aku tuliskan bukan rayuan… Tolong percayalah…aku mencintaimu sampai segenap waktupun tak bisa mengulum kita dalam penatnya. Aku tak melengkapi suratku dengan waktu. Tanggal, tahun ataupun hari. Bukan, bukan karena aku memusuhi mereka. Aku hanya berpikir, pada tanggal, hari dan tahun kapanpun. Surat yang akan kutulis untukmu tak akan berubah…Isinya tetap sama…

Bukankah menuliskan waktu hanya mengurung rasaku pada dimensi sempit sang waktu? Dan itu akan mematikan surat ini, karena ia kutulis untuk kau baca setiap saat. Jadi tolong percayalah, surat terjujur adalah surat yang tidak bertanggal….


2008

1 Shout:

Saya cinta mereka yang diam...tapi kalaupun ingin komentar mohon yang sopan :)